Jumat, 13 April 2012

sejarah zaman hindu-budha

CANDI BOROBUDUR

Candi borobudur adalah nama sebuah candi Budha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi berada kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.Candi ini didirikan oleh para penganut agama Budha Mahayana sekitar tahun 800-an masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.

Candi Borobudur berbentuk punden berundak-undak raksasa, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa. Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu rendah. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi.

Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Ruphadatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

Mulai lantai kelima hingga ke tujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patun
Patung-patung Budha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung tersebut masih tampak samar-samar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini diduga dulu ada sebuah patung penggambaran Adibudha. Patung yang diduga berasal dari stupa terbesar ini kini diletakkan dalam sebuah museum arkeologi, beberapa ratus meter dari candi Borobudur. Patung ini dikenal dengan nama unfinished Buddha.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala.


BENTENG SOMBA OPU

A. Selayang Pandang

Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX yang  bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘ Kallonna pada tahun 1525. Pada  pertengahan abad ke-16, benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan  rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa. Pada tanggal 24 Juni 1669,  benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam oleh  ombak pasang. Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah  ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi  sehingga tampak lebih indah. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah obyek  wisata yang sangat menarik, yaitu sebagai sebuah museum bersejarah.

B. Keistimewaan

Benteng Somba Opu dibangun dari tanah liat dan putih  telur sebagai pengganti semen. Secara arsitekturial, benteng ini berbentuk  persegi empat, dengan panjang sekitar 2 kilometer, tinggi 7 hingga 8 meter, dan  luasnya sekitar 1.500 hektar. Seluruh bangunan benteng dipagari dengan dinding  yang cukup tebal. Di dalam benteng, terdapat beberapa bangunan rumah adat  Sulawesi Selatan (yang mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Kajang),  sebuah meriam bernama “Baluwara Agung” sepanjang 9 meter dengan berat 9.500 kg,  dan sebuah museum yang berisi benda-benda bersejarah peninggalan Kesultanan  Gowa. Dengan mengunjungi benteng ini para pengunjung dapat memperoleh sejumlah  informasi mengenai sejarah dan kebudayaan dari berbagai suku-bangsa yang ada di  Sulawesi Selatan.

C. Lokasi

Benteng ini terletak di Jalan Daeng Tata, Kota  Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.

D. Akses

Benteng Somba Opu berjarak 25 km dari Kota Makassar.  Dari arah Jl. Cendrawasih (sebagai pusat Kota Makassar), perjalanan dapat  ditempuh selama 15 menit dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan  umum berupa taksi, ojek, dan pete-pete (mobil mikrolet). Ongkos naik  taksi sekitar Rp.25.000,-, sedangkan pete-pete dan ojek sekitar Rp.  7.000,-.

E. Harga Tiket

(masih dalam proses konfirmasi)

F. Akomodasi dan Fasilitas

Di komplek Benteng Somba Opu tersedia pelayanan guide yang akan membantu para wisatawan yang ingin mengetahui tentang segala sesuatu  yang berkaitan dengan benteng ini.
(Samsuni/wm/04/01-08)

Minggu, 12 Februari 2012

PERANAN HERBERT SPENCER DALAM PENGEMBANGAN SOSIOLOGI

Spencer tentang Sosiologi
 
Bagi Spencer, Sosiologi merupakan suatu studi evolusi dalam bentuk yang paling kompleks. Dia menguraikan materi sosiologi secara rinci dan sistematis dalam tiga jilid The Prinsiples of Sociology. Menurutnya, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai hakikat manusia secara inkorporatif dengan pendekatan makro yang berpusat pada manusia. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari segala gejala yang muncul dari perilaku manusia secara bersama-sama.
Spencer dalam Soekanto (1990: 444-447), objek pokok sosiologi adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial, dan industri. Tambahannya antara lain asosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja, lapisan sosial, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Dia mengingatkan bahwa sosiologi juga harus menyoroti hubungan timbal balik antara unsur-unsur yang ada dalam masyarakat yang tetap dan harmonis, serta merupakan suatu integrasi, seperti pengaruh norma-norma tersebut di atas terhadap kehidupan keluarga serta hubungan antara lembaga politik dengan lembaga keagamaan. Oleh karena itu, Spencer berpendapat bahwa sosiologi adalah psikologi yang dipraktikkan dan mendapat wujud antara lain etika dan peradaban yang terdapat dalam masyarakat.
Haryanto (tt: 14) menyimpulkan, pandangan-pandangan Spencer tentang sosiologi mendapat pengaruh biologi dalam arti luas. Pertumbuhan suatu disiplin ilmu sosiologi dan biologi telah menarik perhatian baru terhadap faktor-faktor biologis di dalam perilaku manusia. Oleh para pendukungnya, sosiologi didefinisikan sebagai “suatu studi sistematik mengenai dasar-dasar biologis dari perilaku manusia”. Interaksi  biologi dan kebudayaan mempengaruhi perilaku manusia yang dimulai dengan perkembangan masyarakat manusia. Banyak ahli masyarakat abad pertengahan menganalogikan manusia dengan organisme.
Spencer menekankan pentingnya pendekatan bagi seluruh gejala yang ada serta meningkatkan pendekatan bagi pengkajian kehidupan sosial. Berbeda dengan anggapan masyarakat selama ini tentang semua gejala yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan yang selalu dihubungkan dengan metafisik dan agama, Spencer memperkenalkan pendekatan baru yaitu pendekatan empiris dengan data konkret yang memisahkan antara agama dan metafisik dengan ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan oleh siapa saja dan kapan saja dengan hasil yang sama. Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret.
Pendekatan empiris ala Spencer mendapat banyak tantangan pemuka agama. Menyadari hal itu, Spencer kemudian melakukan rekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama. Rekonsiliasi ini dimuat dalam bukunya yang terbit kemudian, yaitu yang berjudul First Prinsciple. Di sana Spencer membedakan fenomena ke dalam dua kelompok, yaitu fenomena atau kejadian yang dapat diketahui dan fenomena atau kejadian yang tidak dapat diketahui. Fenomena dan hal-hal yang dapat diketahui dianggap merupakan pengalaman nyata dan mudah diterima oleh akal manusia, sedang fenomena yang tidak dapat diketahui adalah hal-hal dan kejadian di luar ilmu pengetahuan dan konsepsi manusia (Siahaan, 1986:119-133).
Spencer terus berusaha mencari sumber-sumber asli dan menganalisis perkembangan aneka ragam ide yang tersirat di dalamnya. Dia memulai dengan tiga garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yakni: 1) Materi yang tidak dapat dirusak; 2) Kesinambungan gerak; dan 3) Tenaga dan kekuatan yang terus-menerus. Selain itu, Spencer menyebutkan adanya empat dalil dari kebenaran universal sebagaimana disebutkan di bawah ini:
  1. Kesatuan hukum dan kesinambungan antara kekuatan-kekuatan yang tidak pernah muncul dengan sia-sia dan abadi.
  2. Kekuatan ini tidak musnah akan tetapi ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan yang lain.
  3. Segala sesuatu yang bergerak sepanjang garis setidak-tidaknya akan dirintangi oleh suatu kekuatan yang lain .
  4. Ada sesuatu irama dari gerakan atau gerakan alternatif.
Spencer lebih lanjut mengatakan, evolusi dalam bentuk yang sederhana hanyalah merupakan suatu gerak yang hilang dan redistribusi dari keadaan. Evolusi terjadi di mana-mana dalam bentuk inorganik seperti astronomi dan geologi, dan dalam kehidupan organik seperti biologi dan psikologi serta kehidupan superorganik seperti sosiologi. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer (Siahaan, 1986:119-133) meliputi:
  1. Ketidakstabilan yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar serta akan kehilangan homogenitasnya karena kejadian setiap insiden tidak sama besar;
  2. Berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam rasio geometris. Berkembangnya bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan saja, yaitu suatu keadaan seimbang yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain;
  3. Kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi.
  4. Adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Giddings (1890) meringkas ajaran sistem sosial Spencer seperti di bawah ini (Haryanto, tt).
  1. Masyarakat adalah organisme atau mereka adalah superorganis yang hidup berpencar-pencar.
  2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu keseimbangan tenaga, suatu kekuatan yang seimbang antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain, antara kelompok sosial satu dengan kelompok sosial yang lain.
  3. Keseimbangan antara masyarakat dengan masyarakat, antara masyarakat dan lingkungan mereka, berjuang satu sama lain demi eksistensi mereka di antara warga masyarakatnya. Akhirnya konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
  4. Di dalam perjuangan ini kemudian timbulah rasa takut di dalam hidup bersama serta rasa takut untuk mati. Rasa takut mati adalah pangkal kontrol terhadap agama.
  5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dari agama menjadi militerisme. Militerisme pada umumnya membentuk sifat dan tingkah laku serta membentuk organisasi sosial dalam peperangan.
  6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang kecil menjadi kelompok sosial yang lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial. Proses semacam ini memperluas medan integrasi sosial yang biasanya terdapat pemupukan rasa perdamaian antar sesamanya serta rasa kegotongroyongan.
  7. Kebiasaan  berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka pada hidup tenteram dan penuh dengan rasa setia kawan.
  8. Dalam tipe masyarakat yang penuh dengan perdamaian, kekuatannya akan berkurang namun rasa spontanitas serta inisiatif semakin bertambah. Organisasi sosial menjadi semacam bungkus, sedang anggota masyarakat dapat dengan leluasa pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka mengubah hubungan sosial mereka tanpa merusak kohesi sosial yang telah ada. Kesemuanya ini merupakan elemen di mana rasa simpati dan seluruh pengetahuan yang ada di dalam kelompok sosial merupakan kekuatan tersendiri bagi masyarakat primitif.
  9. Perubahan dari semangat militerisme menjadi semangat industrialisme. Semangat kerja keras tergantung pada luasnya tenaga antara kelompok masyarakat yang ada serta kelompok masyarakat tetangganya, antara ras dalam suatu masyarakat yang ada serta masyarakat yang lain, antara masyarakat pada umumnya serta lingkungan fisis yang ada. Akhirnya semangat kerja keras yang disertai dengan penuh rasa perdamaian tak dapat dicapai sampai keseimbangan bangsa-bangsa serta ras-ras yang ada tercapai lebih dahulu.
  10. Di dalam masyarakat, seperti pada kelompok masyarakat lain tertentu, luasnya perbedaan serta jumlah kompleksitas segenap proses evolusi tergantung pada nilai proses integrasi. Semakin lambat nilai integrasinya, semakin lengkap dan memuaskan jalan evolusi itu.

SEJARAH PEMBENTUKAN PASUKAN PENGIBAR BENDERA PUSAKA


BENDERA PUSAKA

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, jam 10.00 pagi, di Jln. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia, untuk pertama kali secara resmi, bendera kebangsaan merah putih dikibarkan oleh dua orang muda-mudi yang dipimpin oleh Bapak Latief Hendraningrat. Bendera ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno. Bendera inilah yang kemudian disebut "Bendera Pusaka". Bendera Pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan, sampai Ibukota Republik Indonesia dipindah ke Yogyakarta. Pada tanggal 4 Januari 1946, aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat maka Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Bendera Pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam kopor pribadi Presiden Soekarno. Selanjutnya, Ibukota Republik Indonesia dipindakan ke Yogyakarta.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan, agresinya yang ke dua. Pada saat Istana Presiden, Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Bapak Husein Mutahar dipanggil oieh Presiden Soekarno dan ditugaskan untuk menyelamatkan Bendera Pusaka. Penyelamatan Bendera Pusaka ini merupakan salah satu bagian dari sejarah untuk menegakkan berkibarnya Sang Merah Putih di persada bumi Indonesia. Untuk menyelamatkan Bendera Pusaka itu. Agar dapat diselamatkan, Bapak Husein Mutahar terpaksa harus memisahkan antara bagian merah dan putihnya.
Pada saat penyelamatan Bendera Pusaka, terjadi percakapan antara Presiden Soekarno dan Bapak Husein Mutahar. Percakapan tersebut dapat dilihat dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karangan Cindy Adams. Berikut petikannya: `Tindakanku yang terakhir adalah memanggil Mutahar ke kamarku (Presiden Soekarno, pen.). "Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu", kataku ringkas. "Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi.
Dengan ini, memberikan tugas kepadamu untuk menjaga Bendera kita dengan nyawamu, ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan Bendera Pusaka ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya." Mutahar terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa. Di sekeliling kami, born berjatuhan. Tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota. Tanggung jawabnya sungguh be rat. Akhirnya, is memecahkan kesulitan ini dengan mencabut benang jahitan yang memisahkan kedua belahan bendera itu.
Akhirnya dengan bantuan Ibu Perna Dinata, benang jahitan di antara Bendera Pusaka yang telah dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati berhasil dipisahkan. Setelah bendera menjadi dua, masing-masing bagiannya itu, merah dan putih, dimasukkan pada dasar dua tas milik Bapak Husein Mutahar, Selanjutnya pada kedua tas tersebut, dimasukkan seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya. Bendera Pusaka dipisah menjadi dua karena Bapak Mutahar berpikir bahwa apabila Bendera Pusaka merah putih dipisahkan, tidak dapat disebut Bendera, karena hanya berupa dua carikkain merah dan putih. Hal ini untuk menghindari penyitaan dari pihak Belanda.
Setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan diasingkan, kemudian Bapak Husein Mutahar dan beberapa staf kepresidenan ditangkap dan diangkut dengan pesawat dakota. Ternyata, mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Bapak Husein Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.
Di Jakarta, beliau menginap di rumah Sutan Syahrir Selanjutnya, beliau kost di Jln. Pegangsaan Timur No. 43, di rumah Bapak R. Said Sukanto Tjokrodiatmodjo (Kapolri I). Selama di Jakarta, Bapak Husein Mutahar selalu mencari informasi bagaimana caranya agar dapat segera menyerahkan Bendera Pusaka kepada Presiden Soekarno.
Sekitar pertengahan bulan Juni 1948, pada pagi hari, Bapak Husein Mutahar menerima pemberitahuan dari Bapak Soedjono yang tinggal di Oranye Boulevard (sekarang J1n. Diponegoro) Jakarta. Isi pemberitahuan itu adalah bahwa ada surat pribadi dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepada Bapak Husein Mutahar. Pada sore harinya, surat itu diambil oleh beliau dan ternyata memang benar berasal dari Presiden Soekarno pribadi yang pokok isinya adalah perintah Presiden Soekarno kepada Bapak Husein Mutahar supaya menyerahkan Bendera Pusaka yang dibawanya kepada Bapak Soedjono agar Bendera Pusaka tersebut dapat dibawa dan diserahkan kepada Presiden Soekarno di Bangka (Muntok).
Presiden Soekarno tidak memerintahkan Bapak Husen. Mutahar datang ke Bangka untuk menyerahkan sendiri Bendera Pusaka itu langsung kepada Presiden Soekarno tetapi menggunakan Bapak Soedjono sebagai perantara. Tujuannya adalah untuk menjaga kerahasiaan perjalanan Bendera Pusaka dari Jakarta ke Bangka. Alasannya, orang-orang Republik Indonesia dari Jakarta yang diperbolehkan mengunjungi tempat pengasingan Presiden Soekarno pada waktu itu hanyalah warga-warga Delegasi Republik Indonesia, antara lain, Bapak Soedjono, sedangkan Bapak Husein Mutahar bukan sebagai warga Delegasi Republik Indonesia.
Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Bapak Soedjono, dengan meminjam mesin jahit milik seorang Isteri Dokter, Bendera Pusaka yang terpisah menjadi dua dijahit kembali oleh Bapak Husein Mutahar persis di lubang bekas jahitan aslinya. Akan tetapi, sekitar 2 cm dari ujung bendera ada sedikit kesalahan jahit. Selanjutnva, Bendera Pusaka ini dibungkus dengan kertas koran dan diserahkan kepada Bapak Soedjono untuk diserahkan kepada Presiden Soekarno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Presiden Soekarno dengan Bapak Mutahar seperti dijelaskan di atas. Dengan diserahkannya Bendera Pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung Karno, selesailah tugas penyelamatan Bendera Pusaka oleh Bapak Husein Mutahar. Setelah berhasil menyelamatkan Bendera Pusaka, beliau tidak lagi menangani masalah pengibaran Bendera Pusaka. Sebagai penghargaan atas jasa menyelamatkan Bendera Pusaka yang dilakukan oleh Bapak Husein Mutahar, Pemerintah Republik Indonesia telah menganugerah-kan Bintang Mahaputera pada tahun 1961 yang disematkan sendiri oleh Presiden Soekarno.

PENGIBARAN BENDERA MERAH PUTIH DI GEDUNG AGUNG YOGYAKARTA
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-2 Kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Soekarno memanggil salah seorang ajudan beliau, yaitu Mayor (L) Husein Mutahar. Selanjutnya, Presiden Soekarno memberi tugas kepada Mayor (L) Husein Mutahar untuk mempersiapkan dan memimpin upacara peringatan Proldamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1946, di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Bapak Husein Mutahar berpikir bahwa untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa, pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda se-Indonesia. Kemudian, beliau menunjuk 5 orang pemuda yang terdiri atas 3 orang putri dan 2 orang putra perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta untuk melaksanakan tugas. Lima orang tersebut merupakan simbol dari Pancasila. Salah seorang dari pengibar bendera tersebut adalah Titik Dewi pelajar SMA yang berasal dari Sumatera Barat dan tinggal di Yogyakarta.
Pengibaran Bendera Pusaka ini kemudian dilaksanakan lagi pada peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1947 dan tangga 17 Agustus 1948 dengan petugas pengibar bendera tetap orang dari perwakilan daerah lain yang ada di Yogyakarta.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia lainnya, tiba kembali di Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta Bendera Pusaka. Pada tanggal 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka kembali dikibarkan pada upacara peringatan detik-detik Proldamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di depan Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Tanggal 27 Desember 1949, dilakukan penandatanganan. naskah pengakuan kedaulatan di negeri Belanda dan penyerahan kekuasaan di Jakarta. Sementara itu Di Yogyakarta, dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. Tanggal 28 Desember 1949, Presiden Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat.
Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia. Pada hari itu, Bendera Pusaka Sang Merah Putih dibawa ke Jakarta. Untuk pertama kali, peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1950, diselenggarakan di Istana Merdeka Jakarta. Bendera Pusaka Sang Merah Putih berkibar dengan megahnya di tiang 17 m dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh seluruh bangsa Indonesia. Regu-regupengibar dari tahun 1950-1966 dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan.

BERDIRINYA DIREKTORAT JENDERAL URUSAN PEMUDA DAN PRAMUKA (DITJEN UDAKA) DAN LATIHAN PANDU INDONESIA BERPANCASILA
Pada saat memperingati ulang tahun ke-49, tanggal 5 Agustus 1966, Bapak Husein Mutahar menerima "kado" dari pemerintah: beliau diangkat menjadi Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah berpindah-pindah tempat/kantor kerja dari Stadion Utama Senayan (Gelora Bung Karno) ke bekas Gedung Dep. PTIP di Jalan Pegangsaan Barat. Ditjen UDAKA akhirnya menempati gedung bekas NAKERTRANS Jalan Merdeka Timur No.14. Suatu kegiatan yang diadakan Ditjen UDAKA ada kaitannya dengan Paskibraka kelak adalah Latihan Pandu Indonesia ber-Pancasila. Latihan ini sempat diujicobakan 2 kali pada tahun 1966 dan tahun 1967, kemudian dimasukkan kurikulum ujicoba Pasukan Pengerek Bendera Pusaka tahun 1967 yang anggotanya terdiri atas para Pramuka Penegak dan Gugus depan-Gugus depan di DKI Jakarta.

PERCOBAAN PEMBENTUKAN PASUKAN PENGEREK BENDERA PUSAKA TAHUN 1967 DAN PASUKAN PERTAMA TAHUN 1968
Tahun 1967, Bapak Husein Mutahar dipanggil oleh Presiden Soeharto untuk menangani lagi masalah pengibaran Bendera Pusaka. Dengan ide dasar dan pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta, beliau kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 kelompok, yaitu :
1.       Kelompok 17- PENGIRING/PEMANDU
2.       Kelompok 8 - PEMBAWA/INT1
3.       Kelompok 45- PENGAWAL
Ini merupakan simbol/gambaran dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia: 17 Agustus 1945 (17-8-45). Pada waktu itu, dengan situasi dan kondisi yang ada, beliau melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu/ Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran Bendera Pusaka. Semula, rencana beliau untukkelompokpengawal 45 akan terdiri dari para mahasiswa AKABRI (generasi muda ABRI •sekarang TNI), tetapi libur perkuliahan dan transportasi Magelang - Jakarta menjadi kendala, sehingga sulit dilaksanakan. Usul lain untuk menggunakan anggota Pasukan Khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, MARINIR. dan BRIMOB) juga tidak mudah. Akhirnya, kelompok pengawal 45 diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi dan sekaligus mereka bertugas di istana, Jakarta.
Pada tanggal 17 Agustus 1968, petugas pengibar Bendera Pusaka adalah para pemuda utusan propinsi. Akan tetapi, propinsi - propinsi belum seluruhnya mengirimkan utusan, sehingga masih harus ditambah oleh mantan anggota pasukan tahun 1967. Tahun 1969 karena Bendera Pusaka kondisinya sudah terlalu tua sehingga tidak mungkin lagi untuk dikibarkan, dibuatlah duplikat Bendera Pusaka. Untuk dikibarkan di tiang 17 m Istana Merdeka, telah tersedia bendera merah putih dan bahan bendera (wol) yang dijahit 3 potong memanjang kain merah dan 3 potong memanjang kain putih kekuning-kuningan.
Bendera Merah Putih Duplikat Bendera Pusaka yang akan dibagikan ke daerah terbuat dari sutra alam dan alat tenun asli Indonesia, yang warna merah dan putih langsung ditenun menjadi satu tanpa dihubungkan dengan jahitan dan warna merahnya cat celup asli Indonesia. Pembuatan Duplikat Bendera Pusaka ini dilaksanakan oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung dibantu PT Ratna di Ciawi Bogor. Dalam praktik pembuatan Duplikat Bendera Pusaka, sukar untuk memenuhi syarat yang ditentukan Bapak Husein Mutahar karena cat asli Indonesia tidak memiliki warna merah bendera yang standar dan pembuatan dengan alat tenun bukan mesin memerlukan waktu yang lama.
Tanggal 5 Agustus 1969, di Istana Negara Jakarta, berlangsung upacara penyerahan Duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan Reproduksi Naskah Proklamasi oleh Presidcn Soeharto kepada Gubernur seluruh Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar di seluruh Ibukota Propinsi dapat dikibarkan Duplikat Bendera Pusaka dan diadakan pembacaan naskah Proklamasi bersamaan dengan upacara peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus di Istana Merdeka Jakarta. Selanjutnya, Duplikat Bendera Pusaka dan Reproduksi Naskah Proklamasi juga diserahkan kepada Kabupaten-Kota dan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Bendera duplikat (yang dibuat dari 6 carik kain) mulai dikibarkan menggantikan Bendera Pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik indonesia, tanggal 17 Agustus 1969, sedangkan Bendera Pusaka terlipat dalam kotak bertugas mengantar dan menjemput Bendera Duplikat yang dikibarkan/diturunkan.
Pada tahun 1967 s.d. tahun 1972, anggota Pasukan Pengibar Bendera adalah para remaja SMA setanah air Indonesia, yang merupakan utusan dari 26 propinsi di Indonesia. Setiap propinsi, diwakili oleh sepasang remaja yang, dinamakan Pasukan Pengerek Bendera Pusaka. Pada tahun 1973, Bapak Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk anggota pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan Paskibraka. Pas berasal dari Pasukan, dan kib; berasal dari pengibar, ra berasal dari bendera dan ka dari pusaka. Mulai saat itu, singkatan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka adalah Paskibraka.

(dikutip dari Buku Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Paskibraka 2010 oleh Kemenpora RI )